Mengenal Lebih Jauh Personal Branding dan Kampanye Politik
Setiap kandidat dalam kampanye politiknya selalu berusaha untuk menarik dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Dimulai dengan menyebarkan spanduk, poster, iklan di surat kabar dan majalah hingga konvoi massal, kegiatan lain yang tidak terlepas biasanya berupa pidato di lapangan, lengkap dengan hiburan artis dan membagi-bagikan sembako untuk masyarakat.
Berbagai cara tersebut dilakukan oleh kandidat untuk memenangkan kompetisi pemilihan umum mulai dari pilkada hingga pilpres. Dalam memenangkan pemilihan umum ini, pada umumnya kandidat membutuhkan strategi pemasaran politik dan personal branding yang tepat dan terintegrasi. Pemasaran politik merupakan strategi yang mirip aktivitas pemasaran umum yang dipakai dalam bisnis, tetapi ditambah perhitungan faktor politis seperti lobi dan dukungan pihak lain. Sedangkan, personal branding merupakan strategi yang digunakan untuk membentuk citra kandidat supaya dapat diterima oleh target pemilihnya.
Pemasaran di dalam politik dapat didefinisikan sebagai penerapan dari prinsip-prinsip marketing dan prosedur kampanye politik oleh berbagai individu dan organisasi. Di dalam definisi menurut Newman tersebut, juga mencakup sebuah kesatuan proses, mulai dari analisa, pengembangan, eksekusi, dan pengelolaan kampanye strategis yang kesemuanya bertujuan untuk menggiring opini publik, memperjuangkan ideologi, memenangkan pemilihan, serta memperjuangkan legislasi untuk berbagai macam isu.
Prinsip-prinsip yang berlaku di dalam pasar komersial juga berlaku di dalam pasar politik. Kesamaan paradigma tentang pasar inilah yang menjadi jembatan bagi prinsip-prinsip pemasaran untuk berlaku juga di dalam ranah politik. Akan tetapi, prinsip-prinsip pemasaran di dalam ranah komersial/bisnis dengan prinsip pemasaran yang berlaku di dalam ranah politik tentu berbeda. Menurut Newman, secara filosofis, pemasaran di ranah bisnis adalah bagaimana tentang menghasilkan profit/keuntungan, sedangkan di dalam ranah politik, pemasaran adalah bagaimana menghasilkan sebuah operasi yang sukses di dalam sistem demokrasi. Yang kedua, di dalam bisnis, hasil riset pemasaran akan menentukan implementasinya, sedangkan di dalam politik, filosofi milik kandidatlah yang lebih menentukan implementasinya.
Pemasaran sering digambarkan sebagai sebuah proses pertukaran antara pembeli dan penjual, yaitu pembeli menukar uang dengan barang atau jasa dari penjual. Ketika diaplikasikan ke dalam ranah politik, pemasaran politik dapat digambarkan sebagai proses pertukaran antara kandidat yang menawarkan kepemimpinan secara politis dan visi untuk negara/ wilayah yang akan dipimpin denganuntuk ditukarkan dengan suara dari para pemilih. Karena kesamaan orientasi pasar itulah maka sebuah proses riset pemasaran dan jajak pendapat dibutuhkan untuk membentuk kebijakan politisi tersebut, yang nantinya akan menjadi produk yang akan dikonsumsi oleh publik. Proses pemasaran politik kemudian melahirkan sebuah kebutuhan akan kehadiran konsultan politik untuk membantu kandidat menyusun materi kampanye dan melakukan riset politik secara benar. Jasa yang ditawarkan oleh konsultan termasuk penghimpunan dana, pengiklanan TV dan radio, analisa isu, iklan cetak, dan semua hal yang dapat menarik penyumbang dana serta berpengaruh terhadap pilihan pemilih.
Untuk menyusun sebuah kampanye yang sukses dan efektif, Newman memaparkan beberapa prinsip, yaitu:
- Pemahaman tentang kebutuhan pemilih
- Membuat sebuah hubungan yang bersifat emosional dengan pemilih sasaran
- Pencitraan yang berhasil
- Penggunaan citra tunggal untuk menyusun hubungan antara isu-isu yang dibawa oleh kandidat dan kebpribadiannya
- Membahas tentang keprihatinan pemilih, dan bukan keprihatinan kandidat
- Isu tentang perubahan adalah komoditi
- Pemasaran pribadi melalui media
- Dukungan dari elit partai
Dwijowijoto , menyatakan dalam dunia politik dikenal sebuah ungkapan “ politics is about image and image is reality ”. Akhirnya citra menjadi sebuah faktor penentu daripada kenyataan itu sendiri. Citra kandidat yang ditunjukan oleh tokoh politik tersebut biasa disebut dengan personal brand . Personal brand merupakan identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut. untuk mendapatkan personal brand yang impresif dibutuhkan personal branding yang kuat.
Menurut Peter Montoya, personal branding adalah sebuah proses yang melibatkan kemampuan, personalitas, dan karakter unik seseorang dan mengemas mereka ke dalam sebuah identitas yang kuat yang mengangkat seseorang yang bersangkutan ke atas lautan muka dan kompetitor Pembentukan personal branding yang tepat dalam sebuah kampanye politik tidak terlepas dari peran pemasaran politik.
Kegunaan/manfaat dari riset pemasaran, termasuk juga pemasaran politik, berakar dari prinsip bahwa tidak semua produk dapat dijual/ditawarkan pada semua pembeli. Perusahaan memanfaatkan riset pemasaran untuk menentukan kebutuhan pada berbagai segmen pembeli yang berbeda-beda. Hal yang sama berlaku juga di dalam pemasaran politik. Riset pemasaran politik digunakan untuk memetakan kebutuhan pemilih di dalam segmen pemilih yang berbeda-beda pula.
Hasil riset yang dilakukan dalam pemasaran politik dan materi kampanye yang disusun, akan memudahkan untuk membentuk personal branding kandidat yang akan dikampanyekan. Melalui strategi personal branding seseorang dapat mengetahui bagaimana seorang tokoh dipersepsikan oleh orang lain, dan tentunya hal ini sangat penting untuk menarik simpati target pemilih di pilkada.
Personal branding merupakan proses yang akan membawa skill, kepribadian, dan karakteristik unik seseorang dan kemudian membungkusnya menjadi sebuah identitas yang memiliki kekuatan lebih dibanding kompetitor lain. Peter Montoya mengungkapkan “ personal branding membuat anda mengatur persepsi orang terhadap anda. Anda dapat menceritakan pada mereka siapa anda secara organik dan kebetulan sehingga mereka pikir persepsi itu dibangun oleh mereka sendiri”. Dalam membentuk citra melalui personal branding , kandidat menggunakan beberapa cara yaitu dengan melakukan aktifitas kehumasan dan perilkanan.
Michael Levine menyebutkan, sebuah branding agar sukses harus menyertakan tiga branding komponen dalam strateginya, yaitu periklanan, pemasaran dan kehumasan. Ketiga komponen tersebut juga berlaku dalam membentuk personal branding untuk tokoh sebagai kandidat dalam kampanye politik. Periklanan dapat membantu kandidat untuk memutuskan bagaimana identitas kandidat akan dipresentasikan.
Pemasaran membantu kandidat untuk mengetahui seperti apakah tokoh yang akan dikampanyekan dan bagaimana cara mempresentasikan di depan masyarakat. Dengan menggunakan aktivitas pemasaran ini, kandidat atau tokoh yang dicalonkan akan mengetahui seberapa besar peta kekuatan kompetitor dan bagaimana karakterisitik wilayah serta permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat.
Kehumasan membantu kandidat untuk mempublikasikan dirinya di depan masyarakat, membantu memperkuat pendapat masyarakat tentang kandidat dan bagaimana masyarakat dalam mengartikan tokoh yang akan dipilihnya. Pengemasan personal branding yang baik harus disertai dengan proses-proses dalam pembentukannya.
Proses untuk membentuk sebuah personal branding yang baik dan kompetitif diperlukan sebuah riset tentang perilaku konsumen. Konsumen di sini merupakan audience yang akan dijadikan sebagai target pemilih. Solomon menyatakan perilaku konsumen merupakan riset yang melibatkan proses ketika memilih individu atau grup, pembelian, penggunaan, atau menjual produk, jasa, ide atau pengalaman untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Riset tentang perilaku konsumen ini dapat memberikan gambaran detail untuk membuat strategi pemasaran seperti apa yang akan digunakan seseorang untuk membangun personal brandingnya. Riset tentang perilaku konsumen dapat membantu untuk mempelajari target audiens yang akan dijadikan sebagai vote gathers dalam sebuah kampanye pemilu. Karena dengan mempelajari perilaku konsumen, dapat terlihat bagaimana karakteristik pemilih secara demografis dan psikografis.
Karakteristik demografis meliputi deskripsi karakteristik tentang populasi misalnya umur, gender, pendapatan atau pekerjaan dan karakteristik psikografis mengarah kepada aspek personal dari target pemilih. Pengetahuan tentang karakteristik konsumen ini mempunyai peranan penting dalam membuat pesan yang akan digunakan dalam personal branding kandidat yang akan dikampanyekan. Dengan mempelajari karakteristik perilaku konsumen juga dapat mendapatkan informasi tentang kompetitor yang akan menjadi lawan seorang kandidat dalam melakukan kampanyenya. Informasi tentang kompetitor ini dapat membantu untuk membuat posisi dan perbedaan tokoh dengan tokoh lain yang menjadi kompetitornya. Sehingga kandidat tersebut dapat membuat pesan kampanye melalui personal branding yang berbeda dengan kompetitornya.
Menurut Peter Montoya dalam buku “ The Power of Personal Branding” , terdapat delapan hukum dalam personal branding yang disebut sebagai “ The Eight Laws of Personal branding ”. Hukum -hukum tersebut antara lain:
a.The Law of Specialization (Hukum Spesialisasi). Sebuah personal brand yang baik harus spesifik, terkonsentrasi pada sebuah kekuatan pusat, talenta atau prestasi.
b. The Law of Leadership (Hukum Kepemimpinan). Menyediakan sebuah personal brand yang memiliki kekuasaan dan kredibilitas, seseorang akan dianggap sebagai pemimpin bagi orang-orang dibidangnya ataupun area yang terpengaruh olehnya. Kepemimpinan berpijak pada kemampuan, posisi dan keterkenalan
c. The Law of Personality (Hukum Kepribadian). Sebuah personal brand yang baik harus dibangun di atas sebuah pondasi dari sumber kepribadian yang jujur, kelebihan dan kekurangannya. Sesuai dengan hukum kepemimpinan; “you’ve got to be good, but you don’t have to be perfect.
d. The Law of Distinctiveness (Hukum Diferensiasi). Sebuah personal brand yang efektif harus diekspresikan secara berbeda dari kompetitornya. Beberapa marketer membangun jalan tengah bagi brand yang tidak merugikan semua orang. Tetapi rute ini merupakan rute yang menuju kegagalan, karena brand mereka akan tetap tak terdengar diantara ramainya pasar
e. The Law of Visibility (Hukum Keterlihatan). Agar sukses, personal brand harus ditinjau setiap saat, sampai membangkitkan kesadaran pada area yang mereka pengaruhi
f. The Law of Unity (Hukum Kesatuan). Pribadi individu dibalik personal brand harus mendukung moral dan kode tingkah laku yang ditancapkan oleh brand tesebut.
g. The Law of Persistence (Hukum Kesinambungan). Beberapa personal brand membutuhkan waktu untuk tumbuh, dan ketika mempercepat prosesnya, Anda tidak dapat menggantinya dengan iklan atau publik relations. Tetaplah bersama personal brand Anda, tanpa merubahnya, jangan bimbang dan bersabarlah
h. The Law of Goodwill (Hukum Niat Baik). Sebuah personal brand akan menghasilkan sebuah hasil yang lebih baik dan lebih bertahan lama apabila seseorang dibaliknya dikenal secara baik. Ia harus diasosiasikan dengan sebuah nilai atau gagasan yang dikenalkan secara menyeluruh sebagai suatu hal yang positif dan berharga untuk dinantikan.
Kedelapan hukum personal branding yang dikemukakan montoya tersebut merupakan poin-poin penting dari kekuatan sebuah personal branding . Personal branding dalam dunia politik, merupakan proses yang akan membawa karakteristik unik, kepribadian, dan keterampilan seseorang kandidat dan kemudian membungkusnya menjadi identitas yang memiliki kekuatan dan lebih menonjol dibanding dengan kandidat lainnya.
Dengan mengutip pandangan Montoya, Yuswohady mengartikan personal branding sebagai suatu cara tentang bagaimana supaya anda dipersepsi. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau memilih seorang kandidat melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk tampil sebagai pemenang pun semakin besar. Politisi yang dapat mengekspresikan emosi dengan jelas dan meyakinkan serta dengan cara yang benar secara politis dapat memenangkan pilihan dari pemilih.
Leave a Reply