Ini Alasan Startup “Bakar” Duit, Lalu Kapan Balik Modalnya?
Menjadi founder sebuah startup memang dibutuhkan skill dan kemampuan melihat pasar yang ada. Mengetahui apa keinginan sekaligus menganalisa pasar menjadi sebuah keharusan bagi seorang fonder atau CEO sebuah startup.
Masih belum banyak orang yang tahu kenapa startup yang berani bakar-bakar uang untuk promosi. Apalagi mereka melakukan promosi bukan hanya melalui kanal digital saja (digital marketing) tapi juga melalui iklan TV.
Seorang founder startup digital harus biasa membuat laporan untuk para investor, Apalagi jika mendekati akhir tahun. Jika tidak membuat laporan, Kemungkinan bisnis tidak akan berkembang lebih cepat. Membuat laporan artinya harus memperhatikan angka setiap hari dan mengikuti perkembangan setiap saat. Data sekecil apapun bisa dilihat. Itulah bisnis digital.
Kadang terlalu banyak informasi juga membuat bingung. Pekerjaan rumah standar pelaku bisnis digital sekarang sepertinya bukan lagi cari informasi tentang perilaku pelanggan. Tapi juga bagaimana memilih informasi yang berguna, kemudian menentukan prioritas mana yang harus dilakukan, dan mana yang tidak perlu.
[su_quote]Seoarang founder startup biasanya tiap bulan harus dikejar growth minimal 20% (dua puluh persen). Tidak peduli dimanapun berada, selama masih ada gadget yang terhubung dengan internet, disitu selalu dapat memantau perkembangan bisnisnya.[/su_quote]
Mungkin mengerikan melihat srartup dengan iklan-iklan Harbolnas bertebaran di televisi dan di media sosial. Semuanya gencar memberikan diskon atau voucher belanja. Padahal mereka jual rugi kalau voucher nya dipakai konsumen.
[su_quote]Pertanyaan paling sederhana sekaligus paling sulit: jika saya berinvestasi, kapan uang saya akan kembali?[/su_quote]
Apa sebenarnya Harbolnas ini? Hari kobol-kobol nasional? Startup bakar duit buat promosi, bagaimana menghitung kapan balik modalnya? Atau memang benar-benar tidak akan bakal balik modal?
Ini memang pertanyaan yang paling menghantui para investor, dan seharusnya memang bisa dijawab oleh para founder startup digital.
Analogi :
Perusahaan jam tangan dunia dengan merk Sebbel, Perusahaan ini nyaris bangkrut, lalu dibeli sama kompetitornya, Ngip Rit. Sekarang jam Sebbel itu tidak diproduksi lagi.
Sebelumnya ada kabar, Sebbel akan keluar seri baru lagi dan penjualan jam sebbel mencapai angka ratusan ribu jam ke seluruh dunia. Kenapa perusahaannya justru diakuisisi?
“Jam yang sebbel dijual dengan harga yang relatif mepet dengan harga produksinya. Padahal, tentunya biaya pemasaran mereka besar sekali. Jika dihitung, total biaya pemasaran dibagi total konsumen pasti lebih gede dari margin jam itu. Jadi, mau selaris apapun, mereka mereka akan tekor juga.”
Contoh :
Satu buah jam di jual seharga Rp2 juta. Total biaya produksi, kemasan, dan logistik sekitar Rp1,4 juta. Artinya marginnya adalah keuntungan per jam yang terjual Rp600 ribu. Dalam setahun terjual seratus ribu buah jam. Berarti total marginnya Rp60 miliar.
Ternyata biaya pemasaran yang di keluarkan sebesar Rp100 miliar. Jadi total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan tiap satu pembeli jam adalah Rp1 juta. Tekor kan?
Jika biaya pemasaran akan sebesar itu, kenapa harga jam tidak dinaikkan saja menjadi Rp2,5 juta. Jadi, masih ada untung Rp100 ribu per jam.
Andai saja hitungannya segampang itu. Tapi, jika harga jual dinaikkan dari Rp2 juta menjadi Rp2,5 juta, belum tentu yang membeli masih seratus ribu orang. Mungkin saja pembeli jadi berkurang separuh, padahal biaya pemasarannya tetap sama. Ujung-ujungnya, biaya yang dikeluarkan untuk menjual sebuah jam bukan Rp1 juta, tapi malah Rp2 juta. Sama saja, dengan biaya produksi yang sama, mereka akan rugi Rp900 ribu per jam.
Daftar Isi
Kenapa masalahnya? Kenapa mereka mau saja jual rugi per jam yang terjual ? Akhirnya jebol juga..
Karena sebenarnya, biaya pemasaran yang mereka keluarkan ditujukan bukan hanya penjualan per jam, tetapi mengubah seseorang menjadi pelanggan. Istilahnya adalah CAC alias Customer Acquisition Cost.
Pemasaran bukanlah tentang menjual produk kamu, namun bagaimana meraih konsumen baru.
Niat perusahaan Sebbel ini mengeluarkan biaya sebesar itu bukan hanya untuk berjualan jam, tapi menciptakan user base atau komunitas pelanggan yang setia. Mereka berharap, setelah seseorang membeli jam sekali, dia bakal beli lagi setiap seri terbaru dan didalam jam itu juga ada aplikasi berbayar. Beberapa watch face atau tampilan jam itu harus kita beli.
Maksudnya adalah yang sudah pernah beli jam, akan membeli jam lagi yaitu versi Sebbel v.2, Jika pelanggan sudah puas dengan produk ini, mereka akan beli seri barunya. (masuk akal).
Jadi, ketika nanti si Sebbel v.2 keluar, harapannya pelanggan ini akan beli lagi. Pada saat pembelian kedua ini barulah perusahaan jam ambil untung.
Jadi Sebbel ini punya dua jenis revenue stream. Mereka dapat uang dari penjualan pertama, kedua dari penjualan aplikasi di dalam jam. Tapi dalam perjalanannya, mereka gagal.
Masalahnya: berapa kali orang akan membeli jam tangan dalam setahun? Sebbel gagal menepati deadline produksi versi jam berikutnya. Dan dari sisi produk, kemungkinan pelanggan mereka untuk beli jam tangan lebih dari satu kali dalam waktu dekat juga sangat kecil. Itulah penyebab utama mereka akhirnya gagal. Ditambah lagi, sepertinya aplikasi di dalam jam tidak terlalu banyak, dan lebih banyak yang gratis juga.
Bukalapak?
Iklan Bukalapak di TV memberikan gratis ongkos kirim (ongkir), Bukannya ongkir mahal?, Kasih subsidi? Pasang iklan di TV kan mahal, apa tidak cukup hanya melalui iklan digital saja?
Customer Acquisition Cost (CAC)
Kenapa tidak hanya melalui kanal digital?
Karena tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pelanggan baru yang sama sekali belum pernah dengar tentang Bukalapak. Iklan lewat Facebook atau Google harus tetap berjalan. Tapi rata-rata orang yang akses internet di Indonesia sudah kenal Bukalapak. Jadi, memang kanal promosi yang baru tetap selalu dibutuhkan.
“Total belanja iklan TV Indonesia oleh bisnis digital sudah mencapai lebih dari Rp2,5 triliun tahun ini. Gila benar ya kalian jor-joran promosi. Kapan balik modalnya itu?”
Kalau ‘bakar’ duit untuk promosi, kapan balik modalnya?
Analogi :
“Warung jualan gorengan: Jualannya tahu isi, tempe goreng, dan bakwan. Harga produknya sama semua, Rp1.000 per buah,”
Semua bisnis sama, digital atau konvensional hanya medianya saja. Semuanya tetap harus balik modal.
Harga gorengan Rp1.000 per buah, Yang dilakukan penjual gorengan saat pertama kali buka bisnis gorengan adalah buka rolling door warungnya, lalu menyalakan kompor.
Yang mereka lakukan adalah bagi-bagi gorengan gratis ke kantor-kantor di sekitar area warungnya.
Sebelum kang maman (penjual gorenngan) memberikan grais gorengannya adalah bertanya dulu ke kesatpam. Berapa jumlah karyawan di kantor itu, dan ternyata ada 50 orang. Lalu kang maman bagi-bagi seratus buah gorengan gratis, tiap orang mendapat 2 buah gorengan.
Memang tidak semua orang makan atau menyukai gorengan, Namun dalam pemasaran ada istilah: Separuh biaya promosi hanya membuang-buang uang? Masalahnya, kita tidak tahu separuh yang mana yang dimaksud. Ini berlaku juga dalam kasus gorengan. Tidak sampai separuh karyawan kantor yang makan. Tapi seratus buah gorengan ternyata habis juga.
“Ternyata, dari lima puluh anak karyawan, ada sepuluh orang yang langsung menjadi pelanggan warung gorengan itu. Sorenya mereka membeli gorengan lagi, paling tidak lima buah gorengan per orang.”
Jadi si warung gorengan keluar biaya pemasaran sebesar Rp1.000 x 100 buah = Rp100.000, yang menghasilkan sepuluh pelanggan. Jadi, Customer Acquisition Cost adalah Rp10.000 per pelanggan. Kapan balik modalnya?
Retention dan Churn Rate
Setiap pelanggan lalu beli lima buah gorengan.
Misalnya, marginnya Rp500 per gorengan atau 50% (lima puluh persen) dari harga gorengan. Jadi setiap kali membeli gorengan, pelanggan membayar Rp1.000 x 5 buah = Rp5.000. Margin 50%, jadi Rp2.500 sekali membeli.”
Jika CAC Rp10.000, berarti untung Rp2.500, 4x membeli sudah balik modal. 4 hari sudah balik modal. Cerdas teknik pemasaran warung gorengan itu. Hitungan sederhana.
Masalahnya, lagi-lagi tidak segampang itu. Dari sepuluh orang yang menjadi pelanggan warung gorengan sehari setelah dapat gratisan promo, Apakah mungkin semuanya akan balik lagi esok harinya? Harus dihitung lagi.
Mungkin saja dari sepuluh pelanggan awal itu, hanya enam yang jadi pelanggan tetap. Itu saja tidak mungkin mereka tiap hari membeli gorengan. Lalu bagaimana menghitungnya?
Berapa orang pelanggan yang masih tetap beli, dibagi dengan total pelanggan awal. Ini disebut dengan retention rate. Misalnya, Jika ada enam orang yang menjadi pelanggan tetap, berarti retention rate= 6/10 atau 60% (enam puluh persen).
“Jika yang tidak balik lagi sering disebut dengan istilah churn rate. Kebalikan dari retention rate, mengitungnya dengan cara membagi churning user atau pelanggan yang tidak balik lagi dengan total pelanggan awal. Di sini akan mendapatkan angka 40% (empat puluh persen).
Cohort
Misalnya sepuluh orang pertama tadi membeli di hari Senin, dan hari Selasa hanya enam orang yang kembali membeli, bisa saja empat orang sisanya membeli gorengan lagi minggu depan? Bagaimana menghitungnya? tidak bisa menyebut enam orang ini sebagai churning user?
Itu masalahnya, Memang akan berubah-ubah. Jadi, kita harus menentukan dulu timeframe menghitung retention ini. Misalnya, kita punya asumsi jika pelanggan akan paling sering membeli gorengan seminggu sekali. Jadi kita membuat timeframe dalam mingguan.
Tiap minggu retention rate akan berubah-ubah. Oleh karena itu kita perlu menghitung di setiap minggunya, berapa konsumen yang membeli gorengan lagi.
Sepuluh pelanggan awal itu dihitung minggu nol, Di minggu berikutnya, enam dari sepuluh pelanggan itu balik lagi. Minggu setelahnya enam orang, lalu lima orang, tiga orang, dan yang terakhir di minggu kelima hanya sisa dua orang yang balik lagi. Jadi, tiap minggunya kang maman gorengan harus menghitung berapa anak kantor yang membeli. Dari situ nantinya dapat data berapa lama balik modal promosi gratisan seratus gorengan itu tadi,
Jadi, syarat mutlaknya adalah menghitung. Kita harus tahu dengan pasti kapan seorang pelanggan itu pertama kali membeli produk kita. Dan setelah itu harus tahu juga, kapan saja tiap-tiap pelanggan itu beli.
“Anggap saja itu kang maman gorengan memorinya super kuat, jadi tidak akan lupa siapa yang datang dan kapan. Atau dia punya teknologi camera tracking dan face recognition di warung gorengannya.”
Mungkin saja tiap minggu kang maman gorengan memberikan promo gratisan itu ke kantor-kantor lain juga.
Misalnya tiap minggu kang maman gorengan bagi-bagi gorengan gratis untuk dapat pelanggan baru. Minggu pertama sepuluh orang dari kantor A, minggu kedua dua puluh orang dari kantorn B, lalu minggu berikutnya dia promo ke kantor C dan mendapat dua belas orang. Begitu seterusnya, setiap minggu dia dapat pelanggan baru.
Kita bisa lihat kolom di bawah minggu nol, angka pelanggan baru yang didapat. Ke kanan bisa terlihat retention. Dan minggu berikutnya terlihat berapa banyak pelanggan yang bertahan.
Tabel ini biasa disebut dengan Cohort. Dia menunjukkan seberapa bagus sebuah perusahaan. Idealnya, kolom nomor dua (minggu ke-0) yang isinya pelanggan baru itu angkanya naik terus, dan semakin ke kanan, angkanya tidak turun terlalu banyak dan pada akhirnya stabil di angka tertentu.
Garis ke kanan horisontal ini menunjukkan retention rate, ke bawah vertikal menunjukkan jumlah akuisisi pelanggan baru. Sementara, garis diagonal ditarik dari kiri bawah ke kanan atas menunjukkan jumlah pelanggan yang aktif tiap bulannya.”
Balik modalnya kapan?
CAC Recovery
Asumsi di atas adalah jika pelanggan membeli gorengan siklusnya seminggu sekali, setiap membeli sekitar lima gorengan. Artinya warung mendapat untung Rp2.500. Untuk dapat satu pelanggan baru, warung gorengan mengeluarkan Rp10.000. Kita lihat di baris paling atas. Total CAC untuk minggu pertama berarti Rp10.000 x 10 = Rp100.000. Artinya, untuk balik modal, berarti dibutuhkan pembelian sebanyak 40x. Ini dihitung dari Rp100.000:margin per pembelian, yaitu Rp2.500.
Berarti tinggal ditambahkan semua ke kanan, total 10+6+6+5+3+2 = 32. berarti belum balik modal setelah 5 minggu.
Dari sini kita mengetahui, Jika uang yang dibakar-bakar untuk promosi itu akan semakin cepat baliknya, jika pelanggan setia semakin banyak. Semakin bagus produk dan servis yang diberikan, semakin cepat balik modalnya. Misalnya semua anak kantor menjadi pelanggan baru kang maman gorengan balik lagi. Angkanya menjadi 10–10–10–10–10. Dijumlah total lima puluh. Di minggu keempat sudah balik modal.
Angka-angka itu yang menjadi barometer untuk menentukan kapan dan seberapa jauh bisa bakar uang. Salah satunya. Dari sini kita tahu bahwa Customer Lifetime Value (CLV), berapa margin yang akan dihasilkan setiap pelanggan untuk perusahaan. Dari sini terlihat sebagus apa produk bisa diterima oleh konsumen.
Menghitungnya bagaimana ? Misalnya jika orang yang membeli gorengan itu bagi-bagi ke teman-temannya, lalu mereka menjadi pelanggan warung gorengan. Bahkan tidak perlu repot promo bagi-bagi gorengan sudah laris. itu namanya virality.
Epilog
Pertumbuhan bisnis, baik konvensional maupun digital, mempunyai fondasi yang sama: mendapatkan pelanggan baru, dan mempertahankan pelanggan lama.
Bedanya, basis bisnis digital secara natural adalah data driven, sehingga segala keputusan yang diambil tidak hanya dari intuisi dan perkiraan, tapi dari fakta dan data yang ada.
Natural rewrite : Imam Budianto
Source : techinasia
Baca juga: Darimana Untung Tokopedia dan Bukalapak?
Comments (3)
Terimakasih, sederhana bahasanya dan sy rasa tdk salah sy bagikan ke anak dan handatolan saya, terimakasih karya anda membawa berkah utk orang lain
Terimakasih, sederhana bahasanya dan sy rasa tdk salah sy bagikan ke anak dan handatolan saya, terimakasih karya anda membawa berkah utk orang lain
Sangat di pahami artikelnya its okay