Tantangan dan Kompetisi di Era Digital
Awal abad XXI ini adalah masa dimana dunia berada dalam fenomena globallisasi, yakni terciptanya pasar bebas dunia, dan terjadi aliran bebas dari modal, teknologi, orang dan barang serta informasi. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, globalisasi akan terus berlangsung. Tidak ada aturan apapun dari negara manapun yang dapat mencegah globalisasi. Transmisi informasi dengan kecepatan elektromagnetik telah memperlancar terjadinya globalisasi serta meningkatkan intensitas kompetisi.
Kompetisi bernilai positif bagi pemainnya hanya bila ia dapat memenangkannya, setidak-tidaknya harus dapat bertahan agar tidak sampai terpental dari permainan tersebut. Tidak mengikuti kompetisi globalisasi berarti keterpurukan, mungkin bahkan sampai pada kesirnaan dan non eksistensi. Jadi satu-satunya pilihan adalah ikut kompetisi serta berusaha untuk tetap bertahan dalam permainan tersebut sampai jauh dimasa datang.
Perkembangan sains dan teknologi dalam abad XXI ini akan merupakan sinergi dari Revolusi Quantum, Revolusi Bio-molekuler dan Revolusi Komputer, yang akan memungkinkan manusia menjadi pengatur kinerja (choreographer) dari bahan (matter), kehidupan (life) dan kecerdasan (intelligence).
Dalam jangka pendek, suatu jenis baru negara unggulan akan muncul, yakni –the virtual state-, negara yang akan sangat berpengaruh di dunia, tetapi tidak berbentuk negara super power tradisional, namun lebih mirip Singapura atau Hongkong. Suatu negara kecil, dengan militer sedikit, langka sumberdaya alam, pertanian atau manufaktur, namun sangat kuat dalam memainkan keterampilan manajerial, finansial dan kreatifitas dalam mengontrol aset diberbagai penjuru dunia. Mereka akan menjadi negara “kepala” -head nations- yang mencipta produk dan mengendalikan jasa. Sedang yang lain hanya akan menjadi negara “tubuh” –body nations– yang memproduksi barang-barang bekerjasama dengan negara kepala atau virtual states.
Dan kini, kita sudah berada dalam fajar era baru dimana puncak-puncak kecerdasan manusia dipelosok-pelosok bumi saling tersambungkan berkat teknologi digital: –The Age of Networked Intelligence-. Era digital yang melahirkan ekonomi baru, politik baru, masyarakat baru.
Cara berbisnis akan berubah, tata cara pemerintahan harus disesuaikan termasuk tata cara pengelolaan Perguruan Tinggi, dan setiap individu akan bisa meningkatkan potensi dirinya. Era yang membuka harapan baru yang luas, tetapi juga ancaman baru menghadang. Sisi gelap era digital yang berwujud potensi kesenjangan sosial, pelanggaran hak pribadi, hak cipta, pengang-guran, dampak terhadap keluarga, nilai moral akan muncul.
Pendidikan di Era Digital
Dunia pendidikan tidak terbebas dari perubahan besar yang sedang berlangsung. Beberapa perubahan memberikan harapan, sedangkan yang lain merupakan ancaman bagi bentuk pembelajaran tradisional. Tapscott (1996) meramalkan ada enam pendidikan baru di era digital:
1) Belajar dan bekerja akan cenderung menjadi satu hal. Dalam tata ekonomi lama, keahlian dasar seorang pekerja industri, tukang batu, atau supir bis relatip tetap. Paling-paling berbeda sedikit untuk lokasi atau kendaraan yang berbeda.
Komponen belajar dari pekerja relatip kecil. Tetapi dalam tata ekonomi baru, komponen belajar dari angkatan kerja sangat besar. Seorang ahli riset genetika, software developer, manajer bank, konsultan, wirausaha, atau asisten dosen, pada waktu bekerja mereka juga sekaligus belajar hal-hal baru.
2) Belajar akan menjadi tantangan seumur hidup. Dalam tata ekonomi lama, hidup tebagi dua kedalam masa belajar dan masa bekerja. Setelah lulus, tantangan bagi seorang sarjana adalah cukup dengan mengikuti perkembangan ilmu dibidang spesialisasinya. Nanti, setiap orang harus melengkapi terus menerus kemampuannya dengan ilmu-ilmu baru yang tidak terbayangkan semasa kuliah.
Jenjang karir keilmuan tidak lagi memiliki arti besar. Louis Ross, chief technical officer dari Ford Motor Co., mengatakan kepada sekelompok mahasiswa teknik bahwa pengetahuan adalah ibarat susu, yang mempunyai masa kadaluwarsa. Ilmu teknik yang didapat di pergurruan tinggi masa kadaluwarsanya adalah 3 tahun, kalau pengetahuan itu tidak diperbaharui dan disegarkan seluruhnya, dia akan segera busuk bagaikan susu yang masam.
Separuh dari ilmu pengetahuan yang diperoleh pada tahun pertama kuliah akan sudah kadaluwarsa pada saat wisuda, ujar Richard Soderberg dari National Technological University. Maka belajar haruslah menjadi proses seumur hidup. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Utlubul ‘ilma minal mahdi ila ‘lahdi” Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.
3) Belajar tidak lagi harus di sekolah atau universitas. Sejarah Islam mencatat bahwa Universitas Islam tertua Al-Azhar, melaksanakan proses pembelajaran dimasa awalnya adalah di masjid, gratis, guru tidak dibayar dan mahasiswa tidak membayar.
Baru pada awal abad ke XX, para pengajar di Al-Azhar digaji 6 pound Mesir sebulan. Di Eropa, pendidikan tinggi, mula-mula dilaksanakan dan dibiayai oleh gereja, lalu bergeser ke pemerintah, kemudian bergeser lagi kepundak dunia bisnis, karena merekalah yang pada ujungnya harus melatih pekerja yang berpengetahuan.
Di era digital, dunia bisnis harus sekaligus menjadi sekolah, kalau mau menang bersaing. Sebab ekonomi baru adalah ekonomi pengetahuan dan belajar menjadi aktivitas dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan dan pelatihan intern perusahaan sudah meningkat 100 kali lebih cepat dari pada pertumbuhan kampus konvensionil antara 1960-1990 di Amerika Serikat.
(4) Lembaga Pendidikan lambat menyesuaikan diri
Teknik belajar mengajar pada lembaga pendidikan formal belum banyak berubah sejak ratusan tahun yang lalu. Gerry Simth, pimpinan River Oaks Elementary School melontarkan pertanyaan: “Kalau seorang dokter yang hidup 75 tahun yang lalu, lewat mesin waktu datang ke rumah sakit masa kini, bisakah dia melakukan tugasnya? “Jawabnya tentu tidak bisa, sebab peralatan kedokteran yang canggih asing baginya. Pertanyaan berikut :” Bagaimana kalau seorang dosen 75 tahun yang lalu, datang ke ruang kuliah masa kini ?” Jawabnya adalah tidak ada masalah, sebab ruangan yang persegi, papan tulis, kursi dan susunan ruang kuliah, masih mirip-mirip saja.
(5) Perlu kesadaran organisasi untuk terus belajar
Tidak ada kesempatan untuk ikut bersaing saat ini, kecuali bagi organisasi yang mau belajar terus menerus. Dan yang akan memenangkan persaingan adalah organisasi yang belajar lebih cepat dari saingannya. Hal ini harus dicapai melalui partisipasi tim di berbagai level. Jaringan antar tim bisa meningkatkan kesadaran keseluruhan organisasi.
(6) Media baru akan mengubah bentuk pendidikan
Melalui internet, buku-buku dan informasi langka bisa diakses oleh jutaan manusia. Lokasi belajar sudah menembus dinding-dinding kelas. Dengan akses terbuka ke dunia informasi, murid bisa melampaui guru yang masih terpaku pada pola belajar masa lampau. Teknologi baru telah mengubah peran dosen menjadi motivator dan fasilitator bagi mahasiswanya, tidak lagi menjadi pengulang fakta.
Objek ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan menjelajahi situs di cyberspace. Mahasiswa ketika berada dimana saja bisa mengikuti kuliah secara interaktip dari seseorang guru besar tersohor tentang topik yang aktual. Mahasiswa juga bisa memutar ulang kuliah-kuliah yang terlewat, diwaktu luangnya. Ujian bisa dilakukan sewaktu-waktu. Kurikulum bisa lebih responsip kepada kebutuhan dan minat mahasiswa. Juga bisa diubah sesuaikan kepada kebutuhan dunia usaha yang senantiasa berubah cepat. Dan pesertanya adalah mahasiswa murni maupun pegawai dan pekerja yang tersebar diberbagai tempat terpisah.
Peluang dan Ancaman
Pertumbuhan penduduk dunia sudah melampaui kapasitas penyediaan akses ke universitas. Setiap minggu satu universitas baru harus didirikan hanya untuk mempertahankan tingkat partisipasi penduduk dunia di perguruan tinggi. Hal ini tentu saja sangat sukar dipenuhi. Disamping itu kenyataan bahwa mahasiswa usia 18-22 tahun yang kuliah full-timer hanya berjumlah 25%, sedangkan 44% mahasiswa S1-S2-S3 sekarang adalah orang dewasa yang sebagian besar bekerja, yang mengikuti kegiatan perkuliahan secara paruh waktu -part-timer- juga memantapkan alternatip kuliah jarak jauh. Masa bakti/masa berkarir semakin panjang, karena usia juga semakin panjang, artinya pelatihan ulang juga bertambah sering. Estimasi saat ini, setiap pekerja memerlukan pelatihan 5 kali selama masa karirnya, dengan waktu pelatihan rata-rata 3 bulan.
Di era mendatang ini angka itu harus dilipat duakan menjadi 10 kali pelatihan untuk mengejar cepatnya perubahan (OLA, 1992). Semua itu menciptakan kebutuhan suatu bentuk pendidikan tinggi baru melalui internet. Peluang ini segera diisi secara cepat. Di tahun 1998, dalam waktu 22 bulan jumlah perguruan tinggi melalui internet -virtual-universitas- melonjak dari 7 menjadi 100 buah dengan mahasiswa online berjumlah 1 juta orang. Ditahun 1993 ada 21 juta rumah tangga di Amerika Serikat yang memiliki komputer, dan ditahun 1995 sudah mencapai 45 juta. Pada tahun 1983 baru ada 2000 pengguna internet, berdasarkan estimasi dari New Paradigm Learning Corporation, ditahun 2001 jumlah itu akan mencapai 1 milyar orang, atau ¼ dari seluruh penduduk bumi. Di Indonesia proses itu dipercepat dengan sistem share, yakni warnet, dimana satu PC dipakai oleh banyak pengguna dalam sehari.
Dari perhitungan secara ekonomis, sektor pendidikan memang cukup menggiurkan. Di Amerika Serikat, investasi disektor pendidikan setahun berjumlah USD. 665 milyar, lebih besar dari anggaran belanja militer (Martin, 1998). Universitas dan Akademi memperoleh pendapatan sebesar USD. 175 milyar setahun, dua kali lebih besar dari pendapatan sektor bisnis penerbangan. Sejak 1992, sektor pendidikan menduduki peringkat ke 5 dalam urutan ekspor jasa Amerika Serikat. Pendapatan sektor pendidikan tinggi diperkirakan naik 50% dan pembelanjaan disektor pendidikan dan pelatihan akan naik 35% (The Economist, 1996). Di Asia ada 65 universitas terkemuka pada saat krisis moneter melanda Asia malah justru membelanjakan anggarannya sebesar USD. 13, 7 milyar, mereka bangkit, dan ditahun 1998 membelanjakan USD. 15 milyar, dimana USD. 4,5 milyar berupa gaji pegawai universitas (Asiaweek, 1999). Jadi terbukti bahwa pendidikan merupakan sektor yang stabil, karena peranannya yang kritis dan menentukan bagi kelangsungan perekonomian dunia.
Di Indonesia pun bisa diamati, bahwa disaat ambruknya sektor riil akibat krisis moneter, justru amino belajar di berbagai universitas dan akademi malahan meningkat. Walhasil era digital membuka peluang yang luas bagi sektor pendidikan, namun juga ancaman bagi institusi yang berlambat-lambat menyesuaikan diri. Universitas tradisional memang tidak akan lenyap, tetapi mereka pasti harus mengubah diri untuk bisa bertahan. Universitas dengan metode tatap-muka tidak lagi memonopoli sektor pendidikan tinggi. Dia harus memberi tempat kepada sistem pendidikan tinggi alternatip melalui internet, yang akan semakin banyak peminatnya.
Leave a Reply