Bentuk Kampanye Politik di Indonesia: Pencitraan Berbasis Dimensi Budaya
Semaraknya dinamika politik Indonesia dapat dilihat dari pesta demokrasi yang diadakan dari tingkat pusat hingga daerah. Kehidupan berdemokrasi juga membuka lebar peluang setiap orang yang mau dan mampu untuk terlibat di dalam kehidupan politik praktis, khususnya untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di berbagai pelosok negeri ini. Meskipun demikian perjuangan untuk menjadi nomor satu harus melewati jalan panjang berliku demi menarik simpati dan memenangkan suara rakyat. Berbagai cara dilakukan mulai dari memaparkan kesuksesan kandidat di masa lalu sampai menyerang lawan politik secara frontal. Hal-hal seperti ini sepintas lalu terlihat tidak menjadi masalah bagi masyarakat umum maupun bagi para pemilik suara. Padahal, cara-cara ini baru mulai populer di Indonesia pasca reformasi 1998.
Kampanye yang menonjolkan catatan kesuksesan diri sendiri di masa sebelumnya, mungkin merupakan hal yang wajar bagi bangsa lain. Tapi untuk orang Indonesia, sebetulnya hal ini bertentangan dengan pepatah padi yang diajarkan sejak bangku sekolah “semakin berisi semakin merunduk”. Ajaran budaya yang menganjurkan untuk selalu merunduk bagaimanapun hebat atau suksesnya kita sebagai manusia seakan kurang pas bila dijadikan strategi kampanye yang dilakukan banyak kandidat saat ini. Adakalanya kampanye dilakukan dengan menyindir, bahkan menyerang secara langsung dengan mempopulerkan jargon yang menjatuhkan konsep diri lawan politik.. Padahal berbagai studi komunikasi antar budaya memperlihatkan bahwa bangsa Asia cenderung untuk menghindari konfrontasi langsung demi menjaga agar orang lain tidak kehilangan muka dan tidak dipermalukan di depan umum.
Di satu sisi, komunikasi politik para kandidat seakan menerobos nilai-nilai budaya. Pendekatan yang mereka lakukan dalam menggapai simpati dari calon pemilih sepertinya tidak sejalan dengan nilai-nilai “Ke-Indonesiaan”. Tentu banyak persepsi tetang seperti apa kampanye yang khas Indonesia. Kurangnya pemahaman akan hal tersebut tmembuat banyak kandidat yang mengadopsi gaya kampanye dari budaya luar tanpa memandang kesesuaiannya dengan masyarakat kita.
Di sisi lain, tidak dapat diabaikan bahwa efektifitas komunikasi politik akan sangat ditentukan oleh kesamaan persepsi antara para kandidat dengan masyarakat sebagai konstituen. Ketika seorang kandidat mendapat suara terbanyak, kemungkinan besar ia telah menjalankan komunikasi politik yang berhasil menjangkau area kesamaan persepsi antara dirinya dengan masyarakat. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai yang diusung oleh kandidat yang dipilih berada di dalam wilayah nilai budaya yang dimiliki masyarakat.
Dinamika demokrasi di Indonesia membawa berbagai pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Berakhirnya rezim orde baru membawa angin perubahan terutama dalam berdemokrasi. Demokrasi semu yang diterapkan orde baru terasa usang dan tidak relevan lagi –walau ada juga yang merindukan masa tersebut, akibat dari makin keluar jalurnya demokrasi yang berkembang saat ini–. Pemilihan umum sebagai salah satu instrumen demokrasi dalam memilih pemimpin pemerintahan dan parlemen menjadi titik sentral perubahan. Tumbuh puluhan partai politik di berbagai tataran, mulai dari pemilihan kepada daerah tingkat dua, hingga presiden serta parlemen. Masyarakat benar-benar diberi kebebasan memilih tanpa tekanan. Sayangnya sampai saat ini banyak partai politik yang lebih mengedepankan figur daripada program yang realistis. Figur tersebutlah yang “dijual” kepada pemilih dalam “dagangan” partai di dalam pemilu maupun pilkada. Melalui kampanye para kandidat yang diajukan partai politik –maupun kandidat independen- berusaha memikat hati para calon pemilih.
Dalam konteks komunikasi, kampanye merupakan segala kegiatan yang bersifat membujuk. Intinya, di dalam kampanye terjadi serangkaian tindakan komunikasi yang ditujuan untuk membujuk sejumlah besar khalayak. Di sini terlihat bahwa untuk mencapai efek yang diharapkan, penting sekali untuk mengenal siapa khalayak, apa yang dinilai penting dan tidak penting oleh khalayak. Dengan kata lain perlu untuk menggali budaya dari khalayak yang akan dipersuasi.
Chales U. Larson dalam Ruslan membagi kampanye dalam beberapa jenis yakni: pertama, Product-oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi pada produk dan bersifat komersial. Kedua, candidate-oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi bagi calon (kandidat) untuk kepentingan kampanye politik, dimana pelaku kampanye berupaya meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya melalui kampanye politik. Dan ketiga, ideological or cause-oriented campaign yaitu kampanye yang bersifat lebih khusus dan berdimensi perubahan sosial. Makalah ini membahas jenis kampanye kedua yang berorientasi pada kampanye kandidat.
Pada era refromasi ini diketengahkan cara kampanye yang sedikit banyaknya mengadaptasi cara-cara berkampanye model Amerika. Mereka berusaha memikat masyarakat dengan membentuk persepsi dan opini yang baik. Akibatnya muncullah konsultan-konsultan politik berbasis komunikasi terutama public relations. Para kandidat dipoles dan dibentuk serta diberi masukan bagaimana bersikap, berbicara hingga berpenampilan di depan publik. Kemudian diperkenalkan pula model debat calon kandidat untuk mengadu visi misi mereka. Melalui debat tersebut diadu tidak saja program namun yang terpenting adalah kemampuan mereka berkomukasi. Suatu hal yang dulu tidak lazim dilakukan di Indonesia. Debat ini terkesan meniru gaya pemilihan presiden di AS yang sudah dilakukan sejak tahun 60an. Apalagi disaat itu media televisi sedang mengalami perkembangan luar biasa.
Pengaruhnya adalah, para kandidat berusaha membentuk citra yang bisa diciptakan melalui media televisi. Melalui televisi masyarakat bisa langsung melihat sosok penampilan dari para kandidat dan tidak terbatas pada program yang ditawarkan. Menurut Rosady Ruslan, citra adalah tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia hubungan masyarakat atau public relations. Pengertian citra itu sendiri abstrak tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari khalayak sasaran –dalam hal ini para konstituen– dan masyarakat luas pada umumnya.
Berbagai teknik kampanye dilakukan, berputar di kegiatan membangun pencitraan antara lain dengan membeberkan keberhasilan-keberhasilan yang pernah diraih sang kandidat, seakan memberi gambaran kepada masyarakat bahwa “Ia hebat” dan “Ia telah berhasil” sehingga paling layak untuk dipilih. Belum lagi, para kandidat saling menuding dan menyampakan sisi negatif lawan termasuk hal pribadi yang berkaitan dengan fisik. Hal-hal seperti ini menjadi begitu sering muncul di media massa. Masyarakat disuguhkan cara berkampanye yang selama ini tidak pernah tebayaangkan. Pengaruh budaya berdemokrasi ala barat ini seakan mengaburkan bahkan menyisihkan budaya kita sendiri. Cara-cara kampanye yang sangat mengedepankan unsur komunikasi juga seakan meminggirkan identitas komunikasi kita.
Kampanye sering dijadikan output dalam perencanaan yang dilakukan public relations (Lattimore, Baskin, Heiman, Toth & Van Leuven, 2004: 117). Karena kampanye biasanya dirancang untuk tujuan khusus, oleh sebab itu perlu dirancang prosedur yang tidak biasa pula. Sayangnya belum ada sebuah dasar pemikiran yang menjadi bingkai ciri komunikasi budaya kita yang kemudian diterapkan dalam berkampanye.
Seyogyanya hal ini tidak perlu diberi batasan-batasan karena justru akan mengkerdilkan kekayaan identitas kita yang begitu luas dan beraneka. Namun dalam makalah ini budaya akan difokuskan ke dalam beberapa dimensi yang lazim dijadikan acuan dalam studi ilmu komunikasi. Penelusuran budaya di dalam studi komunikasi seringkali dikaitkan dengan hasil penelitian Geert Hofstede mengenai perbedaan budaya. Penjelasan Hofstede didasari penekanan bahwa manusia membawa suatu program di dalam benaknya yang berperan sebagai “sotware of the mind”. Program mental ini memuat berbagai ide mengenai suatu budaya dan diekspresikan melalui nilai-nilai dominan.
Leave a Reply