Fenomena Komunikasi di Media Online
Media baru alias media sosial sudah menjadi tempat mengungkapkan amarah, kebencian, caci maki, penghinaan, cyber bullying, dan proses komunikasi dalam kategori antikomunikasi lainnya. Tidak terbatas pada masalah politik dan sosial, juga pada masalah agama, SARA, bahkan masalah pribadi sekalipun turut meramaikan ruang di media sosial.
Seperti yang dikatakan Sudibyo (2016) bahwa apa yang berkembang di media sosial belakangan ini mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan proses berkomunikasi dalam kategori anti komunikasi. Penyampaian pesan, diskusi, dan silang pendapat tentang isu-isu politik di media sosial tersebut telah sedemikian rupa mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam komunikasi: penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara, dan antisipasi atas dampak-dampak ujaran atau pernyataan.
Pada prinsipnya, praktik berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang disampaikan. Namun yang terjadi di media sosial dewasa ini adalah tren yang sebaliknya. Begitu mudah orang menumpahkan amarah atau opini negatif tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Begitu mudah orang memojokkan dan menghakimi orang lain, tanpa berpikir pentingnya memastikan kebenaran informasi atau analisis tentang orang tersebut. Dan, begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang diungkapkannya di media sosial telah tersebar ke mana-mana, menimbulkan kegaduhan publik dan merugikan pihak tertentu (Sudibyo, Kompas, 18/10/2016).
Tren yang berkembang di media sosial adalah tidak adanya kedewasaan dan sikap bertanggung jawab pengguna media sosial. Tampak jelas bahwa telah terjadi krisis etika berkomunikasi melalui media sosial.
Seperti dikatakan Baihaki (2016) bahwa bangsa Indonesia saat ini berada dalam kelimpahruahan informasi, tetapi kualitas literasinya atau melek media, terutama media sosial masih rendah. Makanya, tidak heran jika penipuan lewat internet dan cyber crime-nya meningkat.
Akses ke pornografi meningkat dan mudah, berita bohong (hoax) serta caci maki di media sosial alias cyber bullying marak, bahkan media sosial seperti Twitter dapat dimanfaatkan untuk membangun pencitraan dan narsisme. Sayangnya, penggunaan media sosial yang masif digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia lebih banyak untuk membahas hal yang bersifat pribadi.
Belum digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi yang memberi energi pencerahan dan semangat untuk memupuk kebersamaan dan persaudaraan atas dasar keragaman.
Padahal, media sosial sejatinya dapat menjadi wahana untuk mendudukkan proses dialog yang sehat dalam berkomunikasi agar terwujud harmonisasi. Media sosial sejatinya menempatkan proses dialog dalam berkomunikasi dan menciptakan ruang untuk menciptakan diseminasi gagasan secara rasional dan menyejukkan.
Dengan demikian, diperlukan kajian etika komunikasi untuk mencari standar etika apa yang harus digunakan oleh komunikator dan komunikan dalam menilai di antara teknik, isi dan tujuan komunikasi di media sosial.
Leave a Reply